1. Etimologi
Nama Laweyan
dipakai untuk menyebut kelompok masyarakat tertentu, yaitu yang dikenal sebagai
kelompok kaum kaya (wong Nglawiyan), yang berlebih (kaluwih-luwih)
dalam segala hal,terutama dalam hal kebutuhan hidup (harta kekayaan), Hal itu disebabkan
karena daerah tersebut menjadi pusat perdagangan batik dan tempat tinggal para
pengusaha batik tulis Jawa.
Tentang
istilah Laweyan ada dua cara menulisnya, yaitu "Lawiyan" dan
"Laweyan". Tulisan dengan Lawiyan ditemukan dalam nama makam Astana Lawiyan,
Sunan Nglawiyan, yang terletak di sebelah selatan daerah Lawiyan.
Selanjutnya
berdasarkan kata "Laweyan", secara etimologis berasal dari kata Lawe,
yaitu benang bahan kain. Dalam bahasa Sanskerta terdapat
kata Laway, artinya jenazah tanpa kepala. Kalau demikian, maka kata
Laweyan, Lawayan menunjukkan tempat Nglawe (menghukum orang dengan lawe).
Siapakah yang mendapatkan hukuman itu ? peristiwa ini kita hubungkan dengan
Putri Pangeran Puger (Paku Buwana I) ketika masih sebagai Pangeran, yang
diperisteri (diambil sebagai selir) oleh Sunan Mangkurat Mas (Mangkurat III),
bermain cinta dengan Raden Sukra, Putra Patih Raden Arya Sindureja. Keduanya
ketahuan dan dihukum mati dengan lawe. Mayatnya dimakamkan di Astana Lawiyan.
Dengan demikian nama Laweyan lebih muda dari pada Lawiyan.
Ada pula
yang berpendapat bahwa nama "Lawiyan" berasal dari kata alih-alihan
(perpindahan), dalam ucapan menjadi Ngalihan atau Ngaliyan yang akhirnya
menjadi Lawiyan yaitu merupakan tempat perpindahan orang-orang dari Desa Nusupan (pelabuhan zaman Pajang-Kartasura
di Bengawan
Sala). Mereka
pindah untuk menghindari bahaya banjir dari Bengawan Sala (dahulu namanya
Bengawan Semanggi atau Bengawan Nusupan) Desa Nusupan (sekarang termasuk
Kelurahan Semanggi) pada zaman Pajang dan Kartasura menjadi pelabuhan yang
penting. Tetapi karena seringnya banjir, berpindah ke Lawiyan. Maka sampai saat
ini wong Nglawiyan bagi masyarakat Sala termasuk kelompok orang kaya.
Perkembangan selanjutnya dari Lawiyan ini pulalah muncul perkumpulan para
pengusaha batik yang pertama yaitu Sarekat
Dagang Islam dengan dipelopori oleh Kyai
Haji Samanhudi (1911).
2. Sejarah
Riwayat
Kampung Laweyan tidak dapat dilepaskan dari tokoh Ki Ageng Enis. Ki Ageng
Enis adalah putra Ki Ageng Sela. Ki Ageng
Enis berputra Ki
Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Pemanahan berputra Sutawijaya atau Mas
Ngabehi Loring Pasar atau Senapati pendiri kerajaan
Mataram Islam
Dalam
sejarah Pajang, Pemanahan
dan Sutawijaya bersama-sama dengan Ki Juru Martani dan Ki Panjawi, sangat
berjasa kepada Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka
Tingkir atau Mas Karebet) sebab dapat membunuh Arya Panangsang, musuhnya
dari Jipang. Selanjutnya atas jasa tersebut, Sultan Hadiwijaya memberi anugerah
tanah Pati kepada Ki Panjawi, dan tanah Mataram kepeda Ki Ageng Pamanahan.
Sedang kepada Ki Ageng Enis dianugerahi tanah perdikan di Laweyan. Karena
ketaatan para kawulanya, Ki Ageng Enis mendapatkan sebutan Ki Ageng Luwih,
makamnya di Astana Lawiyan. Istilah Lawiyan berasal dari kata Luwih
(sakti) dari Ki Ageng Enis tersebut.
Istilah
Lawiyan juga kita temukan pada peristiwa pembunuhan Raden Pabelan (Jaka Pabelan
atau dalam cerita Ki Gede Sala disebut Kyai Batang). Dia dibunuh karena bermain
asmara dengan putri bungsu Sultan, yaitu Raden Ayu Sekar Kedaton.. Mayat Jaka
Pabelan dibuang di Sungai Lawiyan (Sungai Jenes).
Selanjutnya
nama Lawiyan disebut pula dalam peristiwa pelarian Sunan Paku Buwana II ke
Panaraga dalam masa Geger Pacinan
(Pemberontakan Tionghoa). Daerah ini
dipergunakan sebagai tempat peristirahatan dan persembunyiannya. Sunan mohon
berkah di Astana Lawiyan (Makam Ki Ageng Enis). Maka Sunan Paku Buwana II juga
disebut Sunan Nglawiyan dan ketika mangkat juga dimakamkan di Astana Nglawiyan.
3. Kecamatan
Kelurahan
Laweyan terdiri dari beberapa kampung, yaitu kampung Lor Pasar (tempat
Sutawijaya tinggal dengan nama Mas Ngabehi Loring Pasar), kampung Kidul Pasar
(sekarang batasnya sudah tidak jelas), kampong setono (Sentono) tempat tinggal
abdi sentana Mas Ngabehi Kartahastono: kampung Sayangan Wetan dan Sayangan
Kilen (tempat abdi dalem saying bertempat tinggal), yang tugas sehari-harinya
sebagai abdi dalem pembuat barang-barang dari tembaga untuk keperluan kraton
(Pajang), kampung Kwanggan, kampung Kramat (karena Astanma Nglawiyan
dianggapnya sebagai tempat yang keramat), dan kampung Klaseman yaitu tempat
memproses pembuatan kain batik agar warna batik nantinya tidak mencolok tetapi
kelihatan lembut.
Berikut ini
adalah daftar kecamatan di
Laweyan:
- Kelurahan Penumping yang
memiliki kode pos 57141
- Kelurahan Sriwedari yang
memiliki kode pos 57141
- Kelurahan Purwosari yang
memiliki kode pos 57142
- Kelurahan Kerten yang
memiliki kode pos 57143
- Kelurahan Jajar yang
memiliki kode pos 57144
- Kelurahan Karangasem yang
memiliki kode pos 57145
- Kelurahan Pajang yang
memiliki kode pos 57146
- Kelurahan Sondakan yang
memiliki kode pos 57147
- Kelurahan Laweyan yang
memiliki kode pos 57148
- Kelurahan Bumi yang
memiliki kode pos 57148
- Kelurahan Panularen yang
memiliki kode pos 57149
Kampung Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang
unik, spesifik dan bersejarah. lokasi pasar Laweyan terdapat di desa
Laweyan (sekarang terletak diantara kampung Lor Pasar Mati dan Kidul Pasar Mati
serta di sebelah timur kampung Setono). Kampoeng Batik Laweyanmerupakan
“kampung batik tertua” di Indonesia yang sudah eksis sejak tahun 1546M semasa
pemerintahan Kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya [Joko
Tingkir], memproduksi batik tulis, batik cap dan
printing dalam berbagai bentuk seperti kain, blus, hem/kemeja, abaya,
selendang, sprei, interior, sarung, taplak dan masih banyak lagi.
Selain belanja batik, di Kampoeng Laweyan ada juga paket
wisata Ndalem Tjokrosoemartan yang merupakan sebuah paket dimana menyediakan
tur ke rumah pribadi pelopor perdagangan batik, Tjokosoemarto. Rumah yang masih
terlihat mewah dengan keindahan arsitektur Jawa-Belanda serta berbagai macam
kegiatan lainnya seperti aneka hiburan antara lain: tarian, gamelan, siteran
dll. Menu-menu tradisional khas solo dengan penataan menggunakan stall/gubug.
Tour De Laweyan, keliling Kampoeng Batik Laweyan dengan menggunakan becak,
berbelanja dan melihat proses pembuatan batik dengan durasi kurang lebih
3 jam dengan penambahan biaya becak sebesar Rp 20.000,-/pax. Dan Paket Belajar,
proses pembuatan batik.
4. Ciri Khas Dari Laweyan
Kilas tentang Saudagar Laweyan
Laweyan merupakan kampung tradisional yang sudah ada sejak sebelum tahun
1500 M. Kelurahan/Kampung Laweyan, Surakarta – Jawa Tengah merupakan
kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah.
Berdasarkan buku yang ditulis oleh RT. Mlayadipuro, desa Laweyan
(sekarang wilayah Kelurahan Laweyan) sudah ada sebelum munculnya
kerajaan Pajang. Sejarah kawasan Laweyan masih bisa dirunut dengan fakta
artefak makam maupun letak geografisnya yaitu setelah dekade Kyai Ageng
Ngenis yang bermukim di desa Laweyan pada tahun 1546 M, tepatnya di
sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati), era
sebelumnya sangat sulit dilacak kecuali hanya dari dongeng dan tutur
lisan saja. Letak pasar Laweyan membelakangi jalan yang menghubungkan
antara Mentaok dengan desa Sala (sekarang jalan Dr. Rajiman).
Kyai Ageng Ngenis adalah putra dari Kyai Ageng Selo yang
merupakan keturunan raja Brawijaya V. Kyai Ageng Ngenis atau Kyai Ageng
Laweyan adalah juga manggala pinituwaning nagara kerajaan Pajang semasa
Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang pada tahun 1546 M.
Kyai Ageng Ngenis meninggal dan dimakamkan di pesarean Laweyan (tempat
Sunan Kalijaga istirahat selama lelaku menyusuri sungai Bengawan Solo).
Rumah tempat tinggal Kyai Ageng Ngenis kemudian ditempati oleh cucunya
yang bernama Bagus Danang atau Mas Ngabehi Sutowijaya. Kemudian
Sutowijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar
(pasar Laweyan), Sutowijaya pindah ke Kota Gede dan dalam perjalanannya
kemudian menjadi raja pertama Dinasti Mataram Islam dengan sebutan Panembahan Senopati yang kemudian menurunkan raja-raja Mataram.
Masih menurut RT. Mlayadipuro, pasar Laweyan dulunya merupakan pasar
lawe (bahan baku tenun) yang sangat ramai. Bahan baku kapas pada saat
itu banyak dihasilkan dari desa Pedan, Juwiring dan Gawok yang masih
termasuk wilayah kerajaan Pajang. Adapun lokasi pasar Laweyan terdapat
di desa Laweyan (sekarang terletak diantara kampung Lor Pasar Mati dan
Kidul Pasar Mati serta di sebelah timur kampung Setono). Di selatan
pasar Laweyan, di tepi sungai Kabanaran, terdapat sebuah bandar besar
yaitu bandar Kabanaran. Melalui bandar dan sungai Kabanaran (Mbanaran)
tersebut pasar Laweyan terhubung ke bandar besar Nusupan di tepi sungai
Bengawan Solo.
Pada zaman sebelum kemerdekaan R.I., kampung Laweyan pernah memegang
peranan penting dalam kehidupan politik terutama pada masa pertumbuhan
pergerakan nasional. Sekitar tahun 1911 Serikat Dagang Islam (SDI) berdiri di kampung Laweyan dengan Kyai Haji Samanhudi
sebagai pendirinya. Dalam bidang ekonomi para saudagar batik Laweyan
juga merupakan perintis pergerakan koperasi dengan didirikannya
“Persatoean Peroesahaan Batik Boemipoetra Soerakarta (PPBBS) pada tahun
1935.
Arsitektur Rumah Tinggal
Masyarakat Laweyan jika dirunut setelah dari berdirinya keraton
Surakarta Hadiningrat (Paku Buwana), bukanlah keturunan bangsawan,
tetapi masih mempunyai hubungan yang erat dengan kraton melalui
perdagangan batik serta jalinan kehidupan strata tinggi karena didukung
oleh kekayaan yang ada (pada jaman Paku Buwana X), maka corak pemukiman
khususnya milik para saudagar batik banyak dipengaruhi oleh corak
pemukiman bangsawan Jawa. Bangunan rumah saudagar biasanya terdiri dari
Pendopo, ndalem, sentong, gandok, pavilion, pabrik, beteng, regol,
halaman depan rumah yang cukup luas dengan orientasi bangunan menghadap
utara-selatan. Atap bangunan kebanyakan menggunakan atap limasan bukan
joglo karena bukan keturunan bangsawan (Widayati, 2002).
Dalam perkembangannya sebagai salah satu usaha untuk lebih mempertegas
eksistensinya sebagai kawasan yang spesifik, corak bangunan di Laweyan
banyak dipengaruhi oleh gaya arsitektur Eropa dan Islam, sehingga banyak
bermunculan bangunan bergaya arsitektur
Indisch (Jawa-Eropah) dengan façade sederhana, berorientasi ke dalam,
fleksibel, berpagar tinggi lengkap dengan lantai yang bermotif karpet
khas Timur Tengah.
Keberadaan “beteng” tinggi yang banyak memunculkan gang-gang sempit dan
merupakan ciri khas Laweyan selain untuk keamanan juga merupakan salah
satu usaha para saudagar untuk menjaga privacy dan memperoleh daerah
“kekuasaan” di lingkungan komunitasnya.
Sosial dan Budaya
Menurut Sarsono dan Suyatno (Widayati, 2002) terdapat pengelompokan sosial dalam
kehidupan masyarakat Laweyan, yaitu: kelompok wong saudagar (pedagang),
wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim ulama) dan
wong priyayi (bangsawan atau pejabat).
Selain itu dikenal pula golongan saudagar atau juragan batik dengan
pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda
perdagangan batik yang biasa dengan panggilan ‘mbok mase’ atau ‘nyah
nganten’. Sedang untuk suami disebut ‘mas Nganten’ yang berperan sebagai
pelengkap utuhnya keluarga.
Sebagian masyarakat Laweyan masih aktif nguri-uri (melestarikan)
kesenian tradisional, seperti: musik keroncong dan karawitan, yang
biasanya ditampilkan (dimainkan) sebagai pengisi acara hajatan, seperti
mantenan, sunatan, tetakan dan kelahiran bayi.
Dalam bidang keagamaan, sebagian besar penduduk Laweyan beragama Islam,
terlihat aktif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti:
pengajian, darusan, semakan dan aktivitas–aktivitas keagamaan lainnya,
baik secara terjadwal maupun insidentil.
Mitos Laweyan
Ada folklor yang menjadi mitos membentuk kesan komunitas Laweyan
teralienasikan. Hal ini mendorong Drs. Soedarmono, SU (Sejarahwan
Surakarta - alm) menulis dalam upaya meluruskan sejarah.
Wong laweyan pada jaman dahulu, ditengah peradaban dominannya budaya
feodal kerajaan, agak tidak disukai oleh kalangan bangsawan kerajaan di
kota Solo. Karena komunitas Laweyan lebih mencerminkan gaya hidup yang
praksis dalam dunia ekonomi industri dan perdagangan batik. Wacana
prilaku ekonomi perdagangan dan industri batik di Solo ini dianggap
kurang pantas terlibat dalam pergaulan masyarakat feodalistik kerajaan.
Sebagian besar bangsawan kerajaan yang gaya hidupnya lebih mencerminkan
pola hidup establish pada system ekonomi feodom, agak kurang
senang hidup berdampingan dengan wong Laweyan yang mencerminkan gaya
hidup sebagai entrepreuner yang dianggap egois, kikir, dan dianggap
cenderung pamer kekayaan. Bangsawan kerajaan takut bersaing dalam hal
meraih ethos hedonis Jawa: drajad, semat dan pangkat, maka
dengan segala cara, orang Laweyan dialienasikan, diasingkan dari
pergaulan masyarakat Jawa. Folklore yang muncul untuk mengalienasikan
ethos pedagang dan industriawan batik kaum perempuan ini antara lain,
1. Eksistensi komunitas dagang Laweyan di jaman Pajang, dialienasikan
dalam folklor Raden Pabelan yang melakukan perselingkuhan dengan putri
raja Ratu Sekar Kedhaton. Peristiwa itu mengakibatkan dijatuhkannya
eksekusi mati atas Raden Pabelan bertempat di Laweyan. Folklor ini
seolah-olah menjadikan wacana memori kolektif orang Jawa dalam Babad
minor Pajang, untuk akses pembenaran (legitimasi) bahwa sudah layak dan
sepantasnya orang yang melanggar tata-krama adat istana harus
di-eksekusi hukum "Lawe" (digantung dengan tali = lawe), dan yang sangat
disengaja eksekusi itu dijatuhkan di Laweyan.
2. Folklor Kyai Ageng Ngenis, ini adalah folklore yang sangat tendensius
untuk mengklaim bahwa kawasan Laweyan adalah bagian dari ekologi
cultural kraton, bukan ekologi pedagang lawe yang telah lama ada
(Pajang). Konon menurut cerita lokal, asal usul nama tempat “laweyan”
sangat berhubungan erat dengan nama tokoh lokal yang disakralkan, yaitu
Kyai Ageng Ngenis. Di era pemerintahan Sultan Hadiwijoyo di Pajang, Kyai
Ageng Ngenis, putra Kyai Ageng Selo, adalah tokoh cikal-bakal Mataram.
Karena jasanya yang besar atas berdirinya kasultanan Pajang, beliau
diberi hadiah tanah “perdikan”. Tanah itu diberi nama “luwihan”, folklor
ini menggeser etimologi kata 'luwihan' seolah berubah sebutan menjadi
“laweyan”, karena kekaguman rakyat Pajang atas “keluwihan” (kesaktian)
Kyai Ageng Ngenis.
3. Era Kartasura; Sama halnya, peristiwa yang terjadi di jaman Pajang,
di era Kartasura terekam folklor eksekusi putri raja Raden Ayu Lembah.
Putri pangeran Puger yang diperistri oleh Sunan Amangkurat Mas ini nekat
bermain cinta dengan Raden Sukro, hingga berakhir pada eksekusi hukuman
gantung dengan tali Lawe di lokasi kampung Laweyan. Dengan demikian
maka tendensi politik kerajaan pada waktu itu adalah membangun opini
publik agar senantiasa mengingat peristiwa yang berkaitan dengan nama
Laweyan yang dikonotasikan sebagai tempat untuk pelaksanaan hukuman
“lawe”.
4. Era Paku Buwana II; Kesan negatif pada folklor yang berkembang
sebagai memori kolektif sejarah Mataram Kartasura hampir mirip terulang
kembali di era raja Paku Buwana II, saat menjadi pelarian di pengasingan
makam Ki Ageng Ngenis di kampung Laweyan. Secara kompromis raja Paku
Buwana II minta bantuan pada para saudagar batik, untuk bisa diijinkan
meminjam kuda-kuda koleksi para saudagar batik, untuk mendukung
pelariannya ke Ponorogo. Tapi permintaan itu ditolak oleh para saudagar
Laweyan, sehingga menimbulkan rasa marah raja saat itu, sampai pada
sikap raja mengeluarkan sumpah serapahnya, bahwa kelak keturunannya
berharap tidak boleh mengawini wanita “mbok-mase” Laweyan. Ironis
memang, sesama keturunan ethnis Jawa, hanya dibedakan pada nilai
filsafat sosial, ekonomi industri dan perdagangan, dan juga karena
factor local-genius, terjadilah permusuhan yang meruncing sampai
menimbulkan potret segregasi sosial.
5. Pada tingkatan cerita tutur rakyat Jawa tempo dulu, hampir pasti
setiap orang Jawa mengenal folklor “bau laweyan” yang sangat sarkartis
untuk menjatuhkan moral-ekonomi orang Laweyan. Folklore ini memojokkan
komunitas Laweyan, karena pengertian bau laweyan dalam tradisi Jawa,
memposisikan keturunan wanita pedagang yang memiliki perlengkapan magis
(ingon-ingon) ular blorong di kemaluannya. Laki-laki mana saja yang
mengawini wanita bau laweyan, pasti mati, menjadi tumbal pesugihan.
Tidak jauh bedanya dengan folklore “wong kalang” yang mengisolasikan
entrepreuneur kalang. Wanita kalang dipercaya sebagai yang menurunkan
keturunan manusia berekor, sebagaimana komunitas pedagang kalang
kamplong dan kalang bret di kawasan Bantul, Yogya selatan. Komunitas
ini, dikalangan masyarakat Jawa, juga dikenal sebagai gal-gendhu kalang,
diisolasi sebagai sub ethnis Jawa karena berbeda orientasi ekonomi.
Pusaka Peninggalan
Menurut Warsito Supadmo (penggemar keris sejak 1970-an dari Solo),
pusaka peninggalan yang disimpan oleh keluarga saudagar Laweyan banyak
dijumpai sangat bernilai tinggi. Analisa bahwa warisan Brawijaya V dan
jaman kekayaan kerajaan Pajang masih tersimpan di trah keturunan Ki
Ageng Ngenis dan pengikutnya cukup bisa menjadi alasan kuat. Komunitas
saudagar Laweyan yang secara geografis terletak pada situs keraton
Pajang, masih menyimpan pusaka (keris-tombak) tangguh sepuh. Pada tahun
1990-an, komunitas penggemar keris di Solo digemparkan dengan sebilah
keris berhias relief yang keluar dari keturunan juragan Laweyan oleh
sebab mereka tak tahu lagi nilai warisan leluhurnya. Keris yang kemudian
dikenal dengan sebutan keris Candi Sukuh (oleh komunitas keris di
Solo), jatuh ke tangan pedagang antiq yang kemudian raib entah kemana.
Pasar antiq ‘Triwindu’ waktu itu masih sangat potensial mendatangkan
para tamunya pemburu antik dari luar negeri. Keris mirip Kris Knaud juga
pernah keluar dari tangan keluarga Laweyan dengan catatan bertuliskan
‘keris purwocarito’. (http://en.wikipedia.org/wiki/Kris_of_Knaud).
Selain itu terjadi pergeseran dimana sejak kekuasaan Sinuhun Sugih (Paku
Buwana V) berlanjut pula pada kekuasaan Susuhunan Paku Buwana X, lintas
perdagangan dan kehidupan sosial saudagar Laweyan terjalin membaik,
perkawinan keturunan keraton dengan orang Laweyan terjadi. Pada tahun
1930-an, Susuhunan Paku Buwana X memberi kesempatan hak lisensi untuk
berbisnis dalam aktifitas pegadaian Jawa. Ekonomi Surakarta semakin maju
pesat, pasar Klewer (dari kata Kleweran) dulu adalah tempat orang
menjajakan batik, selendang dll, yang disampirkan di pundak, lengan dan
di gantung (kleweran). Potret ini terkesan menjadi pedagang kleweran
dituntut mobilitas yang tinggi, lokasinya pada waktu itu menempati rumah
kosong bekas rumah dinas abdi dalem Secoyudho (sekarang menjadi pasar
klewer, jalan Coyudan). Keris juga saling menyilang kepemilikannya,
dimana keris-keris para kanjeng ningrat keraton sering berpindah tangan
ke saudagar Laweyan karena masalah ekonomi. Walaupun demikian, keris
jarang disandang sebagai pelengkap busana oleh saudagar Laweyan karena
menghargai pakem adat keraton dalam berbusana dan menghargai harga diri
pemilik awalnya. Keris para ningrat hanya disimpan sebagai investasi,
tidak dipakai sebagai pelengkap busana oleh mereka yang notabene rakyat
biasa, bahkan beberapa kali dijumpai pendoq emasnya disepuh perak
(silver plate) karena tidak ingin menjadi incaran perampokan pada jaman
pergolakan anti penjajah Belanda. Anak-cucunya pun tidak mengetahui hal
ini, sehingga pedagang antiq di pasar Triwindulah yang meraup
keuntungannya.
Keris-keris warisan yang sering keluar dari para keturunan saudagar
Laweyan kebanyakan tangguh Majapahit berdhapur Jalak Sangu Tumpeng,
keris kinatah sekar-sekaran, keris-keris tangguh Pajang dan Mataram
Senopaten, jika mendapatkan keris Pajang yang pemiliknya adalah keluarga
Laweyan maka bisa disebut tangguh lempoh, yaitu dipastikan pembuatannya
pada jaman Pajang.
Keris-keris Nom-noman juga sering dijumpai di keluarkan dengan perabot
mas rojo brono, intan-berlian asalnya dari para ningrat Paku Buwana.
Pada masa tahun 1970-an, memang situasi ekonomi terjadi perubahan dengan
merosotnya perdagangan batik tulis yang bersaing dengan batik printing
(cap), keris-keris banyak yang keluar untuk dijual melalui pesuruhnya,
langsung dibawa ke pasar Triwindu.
Keris-keris sepuh dari keluarga Laweyan walaupun warangkanya bergaya
Surakarta, akan tetapi sering ditemukan daunannya (pelog-annya) berbeda.
Mungkinkah warangka di jaman Majapahit atau Pajang masih
mempengaruhinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar