Ekonomi sangatlah berguna,,
Bukan hanya untuk para pedagang saja,, Tapi untuk para pembeli juga,,
Karena ekonomi itu sangatlah penting,,

Minggu, 28 September 2014

Pasar Laweyan

1. Etimologi

Nama Laweyan dipakai untuk menyebut kelompok masyarakat tertentu, yaitu yang dikenal sebagai kelompok kaum kaya (wong Nglawiyan), yang berlebih (kaluwih-luwih) dalam segala hal,terutama dalam hal kebutuhan hidup (harta kekayaan), Hal itu disebabkan karena daerah tersebut menjadi pusat perdagangan batik dan tempat tinggal para pengusaha batik tulis Jawa.
Tentang istilah Laweyan ada dua cara menulisnya, yaitu "Lawiyan" dan "Laweyan". Tulisan dengan Lawiyan ditemukan dalam nama makam Astana Lawiyan, Sunan Nglawiyan, yang terletak di sebelah selatan daerah Lawiyan.
Selanjutnya berdasarkan kata "Laweyan", secara etimologis berasal dari kata Lawe, yaitu benang bahan kain. Dalam bahasa Sanskerta terdapat kata Laway, artinya jenazah tanpa kepala. Kalau demikian, maka kata Laweyan, Lawayan menunjukkan tempat Nglawe (menghukum orang dengan lawe). Siapakah yang mendapatkan hukuman itu ? peristiwa ini kita hubungkan dengan Putri Pangeran Puger (Paku Buwana I) ketika masih sebagai Pangeran, yang diperisteri (diambil sebagai selir) oleh Sunan Mangkurat Mas (Mangkurat III), bermain cinta dengan Raden Sukra, Putra Patih Raden Arya Sindureja. Keduanya ketahuan dan dihukum mati dengan lawe. Mayatnya dimakamkan di Astana Lawiyan. Dengan demikian nama Laweyan lebih muda dari pada Lawiyan.
Ada pula yang berpendapat bahwa nama "Lawiyan" berasal dari kata alih-alihan (perpindahan), dalam ucapan menjadi Ngalihan atau Ngaliyan yang akhirnya menjadi Lawiyan yaitu merupakan tempat perpindahan orang-orang dari Desa Nusupan (pelabuhan zaman Pajang-Kartasura di Bengawan Sala). Mereka pindah untuk menghindari bahaya banjir dari Bengawan Sala (dahulu namanya Bengawan Semanggi atau Bengawan Nusupan) Desa Nusupan (sekarang termasuk Kelurahan Semanggi) pada zaman Pajang dan Kartasura menjadi pelabuhan yang penting. Tetapi karena seringnya banjir, berpindah ke Lawiyan. Maka sampai saat ini wong Nglawiyan bagi masyarakat Sala termasuk kelompok orang kaya. Perkembangan selanjutnya dari Lawiyan ini pulalah muncul perkumpulan para pengusaha batik yang pertama yaitu Sarekat Dagang Islam dengan dipelopori oleh Kyai Haji Samanhudi (1911).
2. Sejarah

Riwayat Kampung Laweyan tidak dapat dilepaskan dari tokoh Ki Ageng Enis. Ki Ageng Enis adalah putra Ki Ageng Sela. Ki Ageng Enis berputra Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Pemanahan berputra Sutawijaya atau Mas Ngabehi Loring Pasar atau Senapati pendiri kerajaan Mataram Islam
Dalam sejarah Pajang, Pemanahan dan Sutawijaya bersama-sama dengan Ki Juru Martani dan Ki Panjawi, sangat berjasa kepada Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau Mas Karebet) sebab dapat membunuh Arya Panangsang, musuhnya dari Jipang. Selanjutnya atas jasa tersebut, Sultan Hadiwijaya memberi anugerah tanah Pati kepada Ki Panjawi, dan tanah Mataram kepeda Ki Ageng Pamanahan. Sedang kepada Ki Ageng Enis dianugerahi tanah perdikan di Laweyan. Karena ketaatan para kawulanya, Ki Ageng Enis mendapatkan sebutan Ki Ageng Luwih, makamnya di Astana Lawiyan. Istilah Lawiyan berasal dari kata Luwih (sakti) dari Ki Ageng Enis tersebut.
Istilah Lawiyan juga kita temukan pada peristiwa pembunuhan Raden Pabelan (Jaka Pabelan atau dalam cerita Ki Gede Sala disebut Kyai Batang). Dia dibunuh karena bermain asmara dengan putri bungsu Sultan, yaitu Raden Ayu Sekar Kedaton.. Mayat Jaka Pabelan dibuang di Sungai Lawiyan (Sungai Jenes).
Selanjutnya nama Lawiyan disebut pula dalam peristiwa pelarian Sunan Paku Buwana II ke Panaraga dalam masa Geger Pacinan (Pemberontakan Tionghoa). Daerah ini dipergunakan sebagai tempat peristirahatan dan persembunyiannya. Sunan mohon berkah di Astana Lawiyan (Makam Ki Ageng Enis). Maka Sunan Paku Buwana II juga disebut Sunan Nglawiyan dan ketika mangkat juga dimakamkan di Astana Nglawiyan.
3. Kecamatan
Kelurahan Laweyan terdiri dari beberapa kampung, yaitu kampung Lor Pasar (tempat Sutawijaya tinggal dengan nama Mas Ngabehi Loring Pasar), kampung Kidul Pasar (sekarang batasnya sudah tidak jelas), kampong setono (Sentono) tempat tinggal abdi sentana Mas Ngabehi Kartahastono: kampung Sayangan Wetan dan Sayangan Kilen (tempat abdi dalem saying bertempat tinggal), yang tugas sehari-harinya sebagai abdi dalem pembuat barang-barang dari tembaga untuk keperluan kraton (Pajang), kampung Kwanggan, kampung Kramat (karena Astanma Nglawiyan dianggapnya sebagai tempat yang keramat), dan kampung Klaseman yaitu tempat memproses pembuatan kain batik agar warna batik nantinya tidak mencolok tetapi kelihatan lembut.
Berikut ini adalah daftar kecamatan di Laweyan:
  • Kelurahan Penumping yang memiliki kode pos 57141
  • Kelurahan Sriwedari yang memiliki kode pos 57141
  • Kelurahan Purwosari yang memiliki kode pos 57142
  • Kelurahan Kerten yang memiliki kode pos 57143
  • Kelurahan Jajar yang memiliki kode pos 57144
  • Kelurahan Karangasem yang memiliki kode pos 57145
  • Kelurahan Pajang yang memiliki kode pos 57146
  • Kelurahan Sondakan yang memiliki kode pos 57147
  • Kelurahan Laweyan yang memiliki kode pos 57148
  • Kelurahan Bumi yang memiliki kode pos 57148
  • Kelurahan Panularen yang memiliki kode pos 57149


Kampung Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. lokasi pasar Laweyan terdapat di desa Laweyan (sekarang terletak diantara kampung Lor Pasar Mati dan Kidul Pasar Mati serta di sebelah timur kampung Setono).  Kampoeng Batik Laweyanmerupakan “kampung batik tertua” di Indonesia yang sudah eksis sejak tahun 1546M semasa pemerintahan Kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya [Joko Tingkir], memproduksi batik tulis, batik cap dan printing dalam berbagai bentuk seperti kain, blus, hem/kemeja, abaya, selendang, sprei, interior, sarung, taplak dan masih banyak lagi.
Selain belanja batik, di Kampoeng Laweyan ada juga paket wisata Ndalem Tjokrosoemartan yang merupakan sebuah paket dimana menyediakan tur ke rumah pribadi pelopor perdagangan batik, Tjokosoemarto. Rumah yang masih terlihat mewah dengan keindahan arsitektur Jawa-Belanda serta berbagai macam kegiatan lainnya seperti aneka hiburan antara lain: tarian, gamelan, siteran dll. Menu-menu tradisional khas solo dengan penataan menggunakan stall/gubug. Tour De Laweyan, keliling Kampoeng Batik Laweyan dengan menggunakan becak, berbelanja dan melihat proses pembuatan batik dengan durasi  kurang lebih 3 jam dengan penambahan biaya becak sebesar Rp 20.000,-/pax. Dan Paket Belajar, proses pembuatan batik.

4. Ciri Khas Dari Laweyan 

Kilas tentang Saudagar Laweyan
Laweyan merupakan kampung tradisional yang sudah ada sejak sebelum tahun 1500 M. Kelurahan/Kampung Laweyan, Surakarta – Jawa Tengah merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah.

Berdasarkan buku yang ditulis oleh RT. Mlayadipuro, desa Laweyan (sekarang wilayah Kelurahan Laweyan) sudah ada sebelum munculnya kerajaan Pajang. Sejarah kawasan Laweyan masih bisa dirunut dengan fakta artefak makam maupun letak geografisnya yaitu setelah dekade Kyai Ageng Ngenis yang bermukim di desa Laweyan pada tahun 1546 M, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati), era sebelumnya sangat sulit dilacak kecuali hanya dari dongeng dan tutur lisan saja. Letak pasar Laweyan membelakangi jalan yang menghubungkan antara Mentaok dengan desa Sala (sekarang jalan Dr. Rajiman).

Kyai Ageng Ngenis adalah putra dari Kyai Ageng Selo yang merupakan keturunan raja Brawijaya V. Kyai Ageng Ngenis atau Kyai Ageng Laweyan adalah juga manggala pinituwaning nagara kerajaan Pajang semasa Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang pada tahun 1546 M.

Kyai Ageng Ngenis meninggal dan dimakamkan di pesarean Laweyan (tempat Sunan Kalijaga istirahat selama lelaku menyusuri sungai Bengawan Solo). Rumah tempat tinggal Kyai Ageng Ngenis kemudian ditempati oleh cucunya yang bernama Bagus Danang atau Mas Ngabehi Sutowijaya. Kemudian Sutowijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar (pasar Laweyan), Sutowijaya pindah ke Kota Gede dan dalam perjalanannya kemudian menjadi raja pertama Dinasti Mataram Islam dengan sebutan Panembahan Senopati yang kemudian menurunkan raja-raja Mataram.

Masih menurut RT. Mlayadipuro, pasar Laweyan dulunya merupakan pasar lawe (bahan baku tenun) yang sangat ramai. Bahan baku kapas pada saat itu banyak dihasilkan dari desa Pedan, Juwiring dan Gawok yang masih termasuk wilayah kerajaan Pajang. Adapun lokasi pasar Laweyan terdapat di desa Laweyan (sekarang terletak diantara kampung Lor Pasar Mati dan Kidul Pasar Mati serta di sebelah timur kampung Setono). Di selatan pasar Laweyan, di tepi sungai Kabanaran, terdapat sebuah bandar besar yaitu bandar Kabanaran. Melalui bandar dan sungai Kabanaran (Mbanaran) tersebut pasar Laweyan terhubung ke bandar besar Nusupan di tepi sungai Bengawan Solo.

Pada zaman sebelum kemerdekaan R.I., kampung Laweyan pernah memegang peranan penting dalam kehidupan politik terutama pada masa pertumbuhan pergerakan nasional. Sekitar tahun 1911 Serikat Dagang Islam (SDI) berdiri di kampung Laweyan dengan Kyai Haji Samanhudi sebagai pendirinya. Dalam bidang ekonomi para saudagar batik Laweyan juga merupakan perintis pergerakan koperasi dengan didirikannya “Persatoean Peroesahaan Batik Boemipoetra Soerakarta (PPBBS) pada tahun 1935.


Arsitektur Rumah Tinggal
Masyarakat Laweyan jika dirunut setelah dari berdirinya keraton Surakarta Hadiningrat (Paku Buwana), bukanlah keturunan bangsawan, tetapi masih mempunyai hubungan yang erat dengan kraton melalui perdagangan batik serta jalinan kehidupan strata tinggi karena didukung oleh kekayaan yang ada (pada jaman Paku Buwana X), maka corak pemukiman khususnya milik para saudagar batik banyak dipengaruhi oleh corak pemukiman bangsawan Jawa. Bangunan rumah saudagar biasanya terdiri dari Pendopo, ndalem, sentong, gandok, pavilion, pabrik, beteng, regol, halaman depan rumah yang cukup luas dengan orientasi bangunan menghadap utara-selatan. Atap bangunan kebanyakan menggunakan atap limasan bukan joglo karena bukan keturunan bangsawan (Widayati, 2002).

Dalam perkembangannya sebagai salah satu usaha untuk lebih mempertegas eksistensinya sebagai kawasan yang spesifik, corak bangunan di Laweyan banyak dipengaruhi oleh gaya arsitektur Eropa dan Islam, sehingga banyak bermunculan bangunan bergaya arsitektur
Indisch (Jawa-Eropah) dengan façade sederhana, berorientasi ke dalam, fleksibel, berpagar tinggi lengkap dengan lantai yang bermotif karpet khas Timur Tengah.

Keberadaan “beteng” tinggi yang banyak memunculkan gang-gang sempit dan merupakan ciri khas Laweyan selain untuk keamanan juga merupakan salah satu usaha para saudagar untuk menjaga privacy dan memperoleh daerah “kekuasaan” di lingkungan komunitasnya.


Sosial dan Budaya
Menurut Sarsono dan Suyatno (Widayati, 2002) terdapat pengelompokan sosial dalam
kehidupan masyarakat Laweyan, yaitu: kelompok wong saudagar (pedagang), wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim ulama) dan wong priyayi (bangsawan atau pejabat).

Selain itu dikenal pula golongan saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik yang biasa dengan panggilan ‘mbok mase’ atau ‘nyah nganten’. Sedang untuk suami disebut ‘mas Nganten’ yang berperan sebagai pelengkap utuhnya keluarga.

Sebagian masyarakat Laweyan masih aktif nguri-uri (melestarikan) kesenian tradisional, seperti: musik keroncong dan karawitan, yang biasanya ditampilkan (dimainkan) sebagai pengisi acara hajatan, seperti mantenan, sunatan, tetakan dan kelahiran bayi.

Dalam bidang keagamaan, sebagian besar penduduk Laweyan beragama Islam, terlihat aktif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti: pengajian, darusan, semakan dan aktivitas–aktivitas keagamaan lainnya, baik secara terjadwal maupun insidentil.


Mitos Laweyan
Ada folklor yang menjadi mitos membentuk kesan komunitas Laweyan teralienasikan. Hal ini mendorong Drs. Soedarmono, SU (Sejarahwan Surakarta - alm) menulis dalam upaya meluruskan sejarah.

Wong laweyan pada jaman dahulu, ditengah peradaban dominannya budaya feodal kerajaan, agak tidak disukai oleh kalangan bangsawan kerajaan di kota Solo. Karena komunitas Laweyan lebih mencerminkan gaya hidup yang praksis dalam dunia ekonomi industri dan perdagangan batik. Wacana prilaku ekonomi perdagangan dan industri batik di Solo ini dianggap kurang pantas terlibat dalam pergaulan masyarakat feodalistik kerajaan. Sebagian besar bangsawan kerajaan yang gaya hidupnya lebih mencerminkan pola hidup establish pada system ekonomi feodom, agak kurang senang hidup berdampingan dengan wong Laweyan yang mencerminkan gaya hidup sebagai entrepreuner yang dianggap egois, kikir, dan dianggap cenderung pamer kekayaan. Bangsawan kerajaan takut bersaing dalam hal meraih ethos hedonis Jawa: drajad, semat dan pangkat, maka dengan segala cara, orang Laweyan dialienasikan, diasingkan dari pergaulan masyarakat Jawa. Folklore yang muncul untuk mengalienasikan ethos pedagang dan industriawan batik kaum perempuan ini antara lain,

1. Eksistensi komunitas dagang Laweyan di jaman Pajang, dialienasikan dalam folklor Raden Pabelan yang melakukan perselingkuhan dengan putri raja Ratu Sekar Kedhaton. Peristiwa itu mengakibatkan dijatuhkannya eksekusi mati atas Raden Pabelan bertempat di Laweyan. Folklor ini seolah-olah menjadikan wacana memori kolektif orang Jawa dalam Babad minor Pajang, untuk akses pembenaran (legitimasi) bahwa sudah layak dan sepantasnya orang yang melanggar tata-krama adat istana harus di-eksekusi hukum "Lawe" (digantung dengan tali = lawe), dan yang sangat disengaja eksekusi itu dijatuhkan di Laweyan.
2. Folklor Kyai Ageng Ngenis, ini adalah folklore yang sangat tendensius untuk mengklaim bahwa kawasan Laweyan adalah bagian dari ekologi cultural kraton, bukan ekologi pedagang lawe yang telah lama ada (Pajang). Konon menurut cerita lokal, asal usul nama tempat “laweyan” sangat berhubungan erat dengan nama tokoh lokal yang disakralkan, yaitu Kyai Ageng Ngenis. Di era pemerintahan Sultan Hadiwijoyo di Pajang, Kyai Ageng Ngenis, putra Kyai Ageng Selo, adalah tokoh cikal-bakal Mataram. Karena jasanya yang besar atas berdirinya kasultanan Pajang, beliau diberi hadiah tanah “perdikan”. Tanah itu diberi nama “luwihan”, folklor ini menggeser etimologi kata 'luwihan' seolah berubah sebutan menjadi “laweyan”, karena kekaguman rakyat Pajang atas “keluwihan” (kesaktian) Kyai Ageng Ngenis.
3. Era Kartasura; Sama halnya, peristiwa yang terjadi di jaman Pajang, di era Kartasura terekam folklor eksekusi putri raja Raden Ayu Lembah. Putri pangeran Puger yang diperistri oleh Sunan Amangkurat Mas ini nekat bermain cinta dengan Raden Sukro, hingga berakhir pada eksekusi hukuman gantung dengan tali Lawe di lokasi kampung Laweyan. Dengan demikian maka tendensi politik kerajaan pada waktu itu adalah membangun opini publik agar senantiasa mengingat peristiwa yang berkaitan dengan nama Laweyan yang dikonotasikan sebagai tempat untuk pelaksanaan hukuman “lawe”.
4. Era Paku Buwana II; Kesan negatif pada folklor yang berkembang sebagai memori kolektif sejarah Mataram Kartasura hampir mirip terulang kembali di era raja Paku Buwana II, saat menjadi pelarian di pengasingan makam Ki Ageng Ngenis di kampung Laweyan. Secara kompromis raja Paku Buwana II minta bantuan pada para saudagar batik, untuk bisa diijinkan meminjam kuda-kuda koleksi para saudagar batik, untuk mendukung pelariannya ke Ponorogo. Tapi permintaan itu ditolak oleh para saudagar Laweyan, sehingga menimbulkan rasa marah raja saat itu, sampai pada sikap raja mengeluarkan sumpah serapahnya, bahwa kelak keturunannya berharap tidak boleh mengawini wanita “mbok-mase” Laweyan. Ironis memang, sesama keturunan ethnis Jawa, hanya dibedakan pada nilai filsafat sosial, ekonomi industri dan perdagangan, dan juga karena factor local-genius, terjadilah permusuhan yang meruncing sampai menimbulkan potret segregasi sosial.
5. Pada tingkatan cerita tutur rakyat Jawa tempo dulu, hampir pasti setiap orang Jawa mengenal folklor “bau laweyan” yang sangat sarkartis untuk menjatuhkan moral-ekonomi orang Laweyan. Folklore ini memojokkan komunitas Laweyan, karena pengertian bau laweyan dalam tradisi Jawa, memposisikan keturunan wanita pedagang yang memiliki perlengkapan magis (ingon-ingon) ular blorong di kemaluannya. Laki-laki mana saja yang mengawini wanita bau laweyan, pasti mati, menjadi tumbal pesugihan. Tidak jauh bedanya dengan folklore “wong kalang” yang mengisolasikan entrepreuneur kalang. Wanita kalang dipercaya sebagai yang menurunkan keturunan manusia berekor, sebagaimana komunitas pedagang kalang kamplong dan kalang bret di kawasan Bantul, Yogya selatan. Komunitas ini, dikalangan masyarakat Jawa, juga dikenal sebagai gal-gendhu kalang, diisolasi sebagai sub ethnis Jawa karena berbeda orientasi ekonomi.


Pusaka Peninggalan
Menurut Warsito Supadmo (penggemar keris sejak 1970-an dari Solo), pusaka peninggalan yang disimpan oleh keluarga saudagar Laweyan banyak dijumpai sangat bernilai tinggi. Analisa bahwa warisan Brawijaya V dan jaman kekayaan kerajaan Pajang masih tersimpan di trah keturunan Ki Ageng Ngenis dan pengikutnya cukup bisa menjadi alasan kuat. Komunitas saudagar Laweyan yang secara geografis terletak pada situs keraton Pajang, masih menyimpan pusaka (keris-tombak) tangguh sepuh. Pada tahun 1990-an, komunitas penggemar keris di Solo digemparkan dengan sebilah keris berhias relief yang keluar dari keturunan juragan Laweyan oleh sebab mereka tak tahu lagi nilai warisan leluhurnya. Keris yang kemudian dikenal dengan sebutan keris Candi Sukuh (oleh komunitas keris di Solo), jatuh ke tangan pedagang antiq yang kemudian raib entah kemana. Pasar antiq ‘Triwindu’ waktu itu masih sangat potensial mendatangkan para tamunya pemburu antik dari luar negeri. Keris mirip Kris Knaud juga pernah keluar dari tangan keluarga Laweyan dengan catatan bertuliskan ‘keris purwocarito’. (http://en.wikipedia.org/wiki/Kris_of_Knaud).

Selain itu terjadi pergeseran dimana sejak kekuasaan Sinuhun Sugih (Paku Buwana V) berlanjut pula pada kekuasaan Susuhunan Paku Buwana X, lintas perdagangan dan kehidupan sosial saudagar Laweyan terjalin membaik, perkawinan keturunan keraton dengan orang Laweyan terjadi. Pada tahun 1930-an, Susuhunan Paku Buwana X memberi kesempatan hak lisensi untuk berbisnis dalam aktifitas pegadaian Jawa. Ekonomi Surakarta semakin maju pesat, pasar Klewer (dari kata Kleweran) dulu adalah tempat orang menjajakan batik, selendang dll, yang disampirkan di pundak, lengan dan di gantung (kleweran). Potret ini terkesan menjadi pedagang kleweran dituntut mobilitas yang tinggi, lokasinya pada waktu itu menempati rumah kosong bekas rumah dinas abdi dalem Secoyudho (sekarang menjadi pasar klewer, jalan Coyudan). Keris juga saling menyilang kepemilikannya, dimana keris-keris para kanjeng ningrat keraton sering berpindah tangan ke saudagar Laweyan karena masalah ekonomi. Walaupun demikian, keris jarang disandang sebagai pelengkap busana oleh saudagar Laweyan karena menghargai pakem adat keraton dalam berbusana dan menghargai harga diri pemilik awalnya. Keris para ningrat hanya disimpan sebagai investasi, tidak dipakai sebagai pelengkap busana oleh mereka yang notabene rakyat biasa, bahkan beberapa kali dijumpai pendoq emasnya disepuh perak (silver plate) karena tidak ingin menjadi incaran perampokan pada jaman pergolakan anti penjajah Belanda. Anak-cucunya pun tidak mengetahui hal ini, sehingga pedagang antiq di pasar Triwindulah yang meraup keuntungannya.

Keris-keris warisan yang sering keluar dari para keturunan saudagar Laweyan kebanyakan tangguh Majapahit berdhapur Jalak Sangu Tumpeng, keris kinatah sekar-sekaran, keris-keris tangguh Pajang dan Mataram Senopaten, jika mendapatkan keris Pajang yang pemiliknya adalah keluarga Laweyan maka bisa disebut tangguh lempoh, yaitu dipastikan pembuatannya pada jaman Pajang.

Keris-keris Nom-noman juga sering dijumpai di keluarkan dengan perabot mas rojo brono, intan-berlian asalnya dari para ningrat Paku Buwana. Pada masa tahun 1970-an, memang situasi ekonomi terjadi perubahan dengan merosotnya perdagangan batik tulis yang bersaing dengan batik printing (cap), keris-keris banyak yang keluar untuk dijual melalui pesuruhnya, langsung dibawa ke pasar Triwindu.

Keris-keris sepuh dari keluarga Laweyan walaupun warangkanya bergaya Surakarta, akan tetapi sering ditemukan daunannya (pelog-annya) berbeda. Mungkinkah warangka di jaman Majapahit atau Pajang masih mempengaruhinya? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar